Sunday, December 12, 2010

"Hugo Chavez"

Kuba dan Venezuela dengan cara mereka masing-masing, telah berhasil mendorong para pemimpin yang mulanya sekadar kekiri-kirian, kiri-tengah alias Sosialis Demokrat(Sosdem), pada perkembangannya telah mengkristal menjadi suatu gerakan reformasi berbasis populisme yang berhaluan ultra-kiri. Inikah sosialisme berbentuk Ultra-nasionalisme? Atau Ultra-nasionalisme berbasis Sosialisme?

Terserah pada penilaian anda, yang jelas model sosialisme ala Amerika Latin ini layak untuk jadi sorotan kita minggu ini. Sekaligus semoga jadi inspirasi bagi para calon presiden Indonesia yang akan berlaga pada pemilihan presiden 8 Juli mendatang.

Mari kita mulai dengan menyimak perkembangan terkini di Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez Kamis (21/5) lalu mengumumkan rencana pengambil-alihan industri energi asing terbesar dari Amerika Serikat di Venezuela, Williams.

Ini jelas-jelas suatu gebrakan yang cukup revolusioner setelah sebelumnya Chavez berhasil mengambil alih perusahaan raksasa Amerika Serikat Cargil, sebuah perusahaan penggilingan Cargill. Karena perusahaan paman Sam tersebut dianggap telah melanggar kententuan harga beras yang ditetapkan Karacas.

Soal Cargill, nanti akan ada pembahasan tersendiri. Kembali ke kebijakan nasionalisasi terhadap William, industri minyak raksasa Amerika tersebut paling lambat akan dilakukan pada akhir Mei 2009.

Suatu keberhasilan yang cukup fantastis, karena dengan demikian Chavez berhasil menasionalisasi aset 60 perusahaan minyak baik lokal maupun asing.

Gerakan radikal Chavez, di sadari atau tidak, sebenarnya dipicu oleh percobaan kudeta yang dilancarkan Presiden AS George W.Bush pada 2002 lalu. Begitu Chavez berhasil mematahkan skenario kudeta Bush, maka Chavez dengan tak ayal langsung melancarkan serangan balik kepada Amerika. Slogan yang dikumandangkan pun tak tanggung-tanggung: Melawan Imperialisme dan Pemerintahan Imperialisme Amerika di Amerika Latin.

Maka sejak itu, Chavez dan sekutu-sekutunya di Amerika Latin, secara intensif mengkosolidasikan seluruh potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara Amerika Latin terhadap imperialisme Amerika.

Keberhasilan pertama yang cukup spektakuler adalah ketika Chavez dan Presiden Kuba Fidel Castro berhasil mengkonsolidasikan penolakan terhadap kebijakan pasar bebas dalam skema FTTA. Sebagai alternatif, mereka meluncurkan The Bolivarian Alternative for the Americas(Alternatif Rakyat Bolivian untuk Rakyat Amerika).

Dengan demikian, integrasi dan kolaborasi negara-negara Amerika Latin melawan intervensi pasar bebas Amerika pun terbentuklah sudah. Venezuela, Brazil dan Argentina tampil sebagai motor penggerak fron perlawanan anti Amerika ini.

Bukan Initisiatif Pribadi Chavez

Dalam kasus Venezuela, kebijakan nasionalisasi ini pun gagasan atau lontaran spontan Chavez pribadi seperti yang kerap dilakukan oleh elit politik Indonesia. Kebijakan nasionalisasi memang sudah digodok dan ditetapkan oleh Mejelis Nasional sebagai lembaga legislatif Venezuela.

Misalnya saja pada 8 Mei 2009 lalu, Majelis Nasional menerbitkan undang-undang tentang perluasan wewenang negara dalam mengawasi semua kegiatan yang berhubungan dengan industri energi.

Undang-Undang ini memberi hak hukum ekslusif kepada pengadilan lokal dalam menyelesaikan perselisihan antara perusahaan negara dan swastas terkait program nasionalisasi. 

Bahkan lebih dari itu, UU yang dibuat Majelis Nasional tersebut memberikan perlindungan kepada negara dari masalah arbitrasi internasional.

Inilah sebuah produk hukum yang pada perkembanannya menjadi pintu masuk bagi pemerintahan Chavez untuk mewujudkan kebijakan pro rakyat. Karena begitu UU itu diberlakukan, dengan tak ayal Chavez langsung mengumumkan pengambil alihan semua fasilitas yang berhubungan dengan energi oleh perusahaan milik pemerintah Petroleos de Venezuela(PDVSA).

Jadi, pengambil-alihan perusahaan industri energi raksasa Amerika William bukanlah yang kali pertama. Bahkan setelah William, Chavez telah mencanangkan nasionalisasi sejumlah industri pembuat baja bernama Orinico Iron dan industri pembuat keramik bernama Matesi.
Bahkan sebelum UU nasionalisasi ini diberlakukan, pada Maret 2009 Chavez sudah melancarkan ”gimnastik revolusi” dengan memerintahkan pengambil-alihan perusahaan penggilingan Amerika bernama Cargill sebagaimana alasan yang diutarakan di atas.

Bisa dipastikan ini bikin runyam Amerika. Bayangkan saja. Perusahaan yang berkantor di Minnesota itu, memiliki 22 cabang di Venezuela dan mempekerjakan sekitar 2000 karyawan. Cargill memiliki 13 unit operasional, termasuk produksi bahan pangan, pakan ternak, dan biofuel.


Rekam Jejak Chavez
 

Kalau cerita di atas tadi adalah kisah sukses Chavez merebut aset perusahaan asing di Venezuela, Presiden Venezuela yang naik tampuk kekuasaan pada 1998 itu sudah mulai debutnya sejak 2003. Ketika itu, Chavez mulai mengkampanyekan program pro rakyat miskin yakni dengan mengagendakan biaya sekolah dan kesehatan gratis, serta menurunkan harga kebutuhan bahan pokok.

Pada 2005, Chaves mulai melancarkan nasionalisasi tapi bukan terhadap perusahaan asing, melainkan terhadap monopoli perusahaan swasta di dalam negeri. Misalnya dengan menandatangani reformasi peraturan pertanahan guna membatasi pembangunan real estate.

Kemudian pada 2007, tak lama setelah dia terpilih kembali sebagai presiden untuk kali ketiga, menandatangani nasionalisasi perusahaan listrik dan telekomunikasi. Berarti, listrik dan telekomunikasi diharamkan untuk dimiliki swasta, apalagi dengan saham mayoritas.

Masih pada 2007, pemerintahan Chavez sudah berani bertindak terhadap perusahaan asing, padahal belum dipayungi oleh UU Mei 2009. Misalnya dengan keberhasilan mengakuisisi saham mayoritas 4 proyek minyak yang beroperasi di Sungai Orinoco senilai US$ 30 miliar atau sekitar Rp 364,4 triliun. Bukan main. 

Adapuh 4 proyek asing tersebut adalah US companies Exxon, Conoco Philips, France’s Total dan Norway’s StatoilHydro, France’s Total. France’s Total dan Norway’s StatoilHydro menerima kompensasi US$ 1 miliar atau sekitar Rp 12,1 triliun.

Minyak Bagi Venezuela dan Amerika Latin

Minyak, bagi Venezuela, memang menjadi sumber dana penting bagi kemajuan Amerika Latin saat ini. Saat ini, Petro Caribe dibangun untuk penyediaan minyak murah bagi rakyat di wilayah Karibia. Bahkan sudah direncanakan membangun Petro America yang akan menyatukan perussahaan-perusahaan energi milik negara di seluruh Amerika Latin.Termasuk pembayaran hutang Argentina kepada IMF sebesar $ 2,4 miliar.

Bahkan yang lebih gila lagi, Chavez siap untuk menandingi IMF dengan sebuah lembaga keuangan alternatif dengan menggagas terbentuknya Bank of the South (Bank Selatan).

Sebelumnya Chavez memang sudah membuat beberapa langkah strategis sebagai prakondisi. Misalnya dengan Kuba, sempat mempelopori bentuk kolaborasi yang bermanfaat bagi rakyat seperti: perturakaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu.

Kemudian, langkah ini semakin diperluas lagi dengan pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak. Ini jelas-jelas melawan skema privatisasi sektor minyak kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch, Shell atau Chevron Texaco.

Juga, telah dirintis pembangunan pipa-pipa minyuak dan penjualan minyak murah dengan melibatkan Ecuador, Argentina, Brazil, Kolombia dan Paraguay.

Merubah Orientasi dan Haluan Mercosur

Boleh jadi inilah kunci keberhasilan dan sumbangan besar Chavez dalam memprovokasi menguatnya Neo-Sosialisme di Amerika Latin. Ketika Chavez berhasil masuk dan merubah orientasi Mercosur dari sekadar sebagai blok perdagangan minyak yang mengejar keuntungan menjadi fron perlawanan rakyat Amerika Latin terhadap Imperialisme Amerika.

Mercosur terdiri dari Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay. Chavez berhasil memprovokasi negara-negara yang tergabung dalam Mercosur tersebut untuk memperioritaskan kepentingan rakyat daripada sekadar cari untung bisnis semata. “Kita membutuhkan Mercosur yang setiap hari bergerak semakin menjauh dari model integrasi para konglomerat elitis yang kuno dan hanya mengejar keuntungan bisnis semata. Dan melupakan kaum buruh, anak-anak dan martabat hidup manusia,” begitu kata Chavez.

Begitulah. Gagasan Chavez tersebut ternyata gayung bersambut, dan didukung penuh oleh negara-negara tetangganya di Amerika Latin seperti Bolivia, Kuba, Brazil, Peru dan sebagainya.

No comments: