Monday, April 11, 2011

Eks Menkes: Pemerintah sebenarnya bisa biayai SJSN

Jakarta - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Siti Fadilah Supari mengatakan, pemerintah sebenarnya memiliki dana untuk membiayai SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).

Iuran SJSN dapat diambil dari dana bantuan sosial yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga negara yang jumlahnya Rp61,2 trilun.

"Dana itu biasanya digunakan untuk berbagai sumbangan kepada masyarakat seperti sumbangan pembangunan masjid atau kegiatan sosial lainnya," kata Siti Fadillah baru-baru ini.

Sedangkan pelaksanaan SJSN menurut Siti Fadilah, hanya dibutuhkan Rp40 trilun. Anggaran sebesar itu sudah dapat mencakup biaya kesehatan seluruh rakyat.

"Adalah tugas pemerintah untuk melindungi rakyat, jangan rakyat disuruh melindungi diri sendiri," kata dia .

Berdasarkan anggaran 2010, total dana bantuan sosial di seluruh lembaga negara mencapai Rp61,2 trilun dan pada 2011 mencapai Rp59,1 triliun. Dana bantuan sosial itu antara lain terdapat di Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp8,6 triliun.
Kementerian Pendidikan sebesar Rp31,2 triliun,  Kementerian Kesehatan Rp3,7 triliun, Kementerian Agama Rp 6,8 triliun, Kementerian Sosial Rp2,1 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp2,5 triliun. Dana bantuan sosial itu ada diberbagai lembaga negara jumlahnya bervariasi.

Siti Fadilah menegaskan seluruh rakyat berhak mendapat jaminan sosial, tidak boleh dibedakan antara yang miskin dan yang kaya, dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan tersebut. Tak seharusnya masyarakat memberikan uang iuran lagi.

"Angka pengangguran masih tinggi, kalau buat makan saja susah bagaimana mau membayar uang iuran,"tegas bekas Menkes

Dalam Undang-undang SJSN pasal 17 diatur tentang iuran peserta, antara lain iuran dipungut oleh pemberi kerja dan kemudian ia membayarkannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Sumber : www.primaironline.com ; tanggal, 11 April 2011 ; SOSIAL

Baca selanjutnya......

Thursday, April 7, 2011

Pemerintah Didesak Sahkan RUU Badan Penyelenggara Jamsos

Berlarut-larutnya pembahasan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) menimbulkan kekesalan sebagian anggota DPR. Mereka mendesak pemerintah agar mengesahkan UU BPJS saat rapat Paripurna.

Menurut anggota Pansus BPJS Rieke Diah Pitaloka, anggaran Jamkesmas yang ada saat ini hanya Rp5.500/ jiwa dan Rp66 ribu/jiwa per tahun. Karena itu, daripada membangun gedung, dana tersebut bisa diperuntukkan untuk rakyat.

"Jaminan persalinan rakyat tidak mampu hanya Rp1,2 trilun untuk 2,6 juta kelahiran. Bandingkan Rp1,1 triliun untuk gedung. Bukannya menolak atau apa, kalau dipakai untuk biaya persalinan akan lebih menolong jiwa. Ini menjawab Menkeu yang mengatakan bahwa APBN tidak cukup. Bangun gedung yang dibutuhkan rakyat bukan gedung DPR, tapi sistem jaminan sosial beserta perangkatnya," kata Rieke di hadapan para anggota dewan, Kamis (7/4).

Selain Rieke dari Fraksi PDIP, Teguh Juwarno dari PAN dan Chairuman Harahap dari Fraksi Golkar juga turut mendesak agar UU BPJS segera disahkan. "Secara jelas dan tegas persoalan BPJS harus dijalankan. Parlemen ini berharap agar UU berjalan, kita tidak perlu ragu-ragu menunda gedung baru, kita gunakan tenaga untuk membahas kebutuhan rakyat," kata Teguh. Sementara, "Kami dari fraksi Golkar ingin BPJS segera dibentuk," ujar Chairuman.

Sebagai bentuk apresiasi DPR, pimpinan rapat hari ini, Kamis, yaitu Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso angkat bicara soal BPJS. Priyo menyayangkan pemerintah yang diwakili delapan menteri, yaitu Menkeu, Menpan, Menkes, Menakertrans, Mensos, Menteri BUMN, dan Menteri Kepala Bappenas, menghentikan secara sepihak pembahasan RUU BPJS tersebut.

"Dari meja pimpinan, saya menyayangkan pemerintah 8 menteri tersebut menghentikan secara sepihak membahas RUU selama sebulan. Padahal, DPR dituntut membicarakan UU yang strategis membicarakan hajat hidup orang banyak. Menteri Keuangan tidak boleh lagi terkesan ngambek seperti saat ini, kalau seperti itu terus pimpinan dewan tidak ragu untuk menyampaikan ke presiden untuk menegur menteri-menteri tersebut," kata Priyo di hadapan semua anggota dewan. 
Sumber : MEDIA INDONESIA (Kamis, 07 April 2011)

Baca selanjutnya......

Monday, April 4, 2011

SJSN 40 th 2004 di Realisasikan, Pemerintah Berpihak Pada Pasar Global

Jaminan kesehatan nasional kenapa mesti dipersoalkan dan diundang-undangkan lagi padahal itu udah tertuang dalam UUD '45 yang sejatinya negara harus bertanggung jawab pada rakyatnya. sebaliknya apabila negara tidak bertanggung jawab maka kita sepakati untuk membubarkan NEGARA ini. 

Empat (4) perusahaan yang ditunjuk pemerintah (PT.ASKES, PT.TASPEN, PT.JAMSOSTEK, PT.ASABRI) merupakan perusahaan BUMN sama sekali tidak berpihak pada kepentingan RAKYAT,  Empat (4) Perusahaan itu adalah perusahaan ASURANSI, Ok kita sepakati disingkat dengan ASU yahhhh...nah bagaimana cara kerjanya ASU?...

ASU dalam pengertiannya adalah sebuah perusahaan yang tentunya pasti ada dewan komisaris,direktur, karyawan dll banyak dech bagiannya, yang jelas ada pengusaha didalam ASU itu .Artinya, pengusaha itu adalah orang yang berusaha untuk mencari profit atau keuntungan lah gampangnya. kemudian dalam berusaha, keuntungan yang berlipat ganda itu bagian yang paling prioritas orang berusaha tadi. 

Terus keuntungan dari ASU yang empat tadi gimana caranya, nah keuntungannya dimulai dari penolakan kleim oleh nasabah atau rakyat yang menjadi tanggunganya, kemudian ASU memilah-milah penyakit yang ditanggung dan yang tidak. Terus apa gunanya nasabah/RAKYAT harus bayar setiap bulannya ane contohin yee: JAMSOSTEK yang nasabahnya BURUH yang harus rela gajinya tiap bulan dipotong sama JAMSOSTEK ketika BURUH itu sakit hanya ditanggung tujuh (7) hari rawat inap di Rumah Sakit dan kalo penyakitnya tidak masuk dalam daftar yang ditanggung JAMSOSTEK maka BURUH tersebut menanggug sendiri pengobatannya. "Gilanya lagi Pemerintah yang mendukung dengan mengesahkan UU SJSN 40/2004".

Nah lo, kalo udah bayar sendiri artinya buruh tidak disejahterakan oleh negara lewat perusahaannya bekerja, dan akhirnya BURUH-BURUH protes kepemerintah nah sedangkan pemerintah menyerahkan tanggung jawab itu sepenuhnya ke ASU (JAMSOSTEK) tadi lewat UU SJSN 40/2004, terjadilah protes BURUH salah sasaran dan pada akhirnya BURUH protes ke ASU JAMSOSTEK terus pemerintah yang tugasnya mensejahterakan rakyatnya dimana?!.klo bahasa gaul NEOLIB sekarang, pemerintah "CUCI TANGAN" artinya tidak mau bertanggung jawab mensejahterakan rakyatnya, nah kalo pemerintah tidak mau bertanggu jawab terus apa gunanya NEGARA?!.BUBAR kan saja NEGARA ini.

aku mengajak pemuda-pemuda negri ini untuk MELAWAN neolib-neolib yang menjanjikan jaminan kesehatan itu yang berbentuk ASU ASU ASURANSI..!!!!

Baca selanjutnya......

Evo Morales dan Revolusi Bolivia: Menggugat Neoliberalisme

Dalam sejarah, pergulatan ideologi di berbagai negara berlangsung terus-menerus. Dalam kajian ideologi kita mengenal dua ideologi besar, yaitu kapitalisme dan sosialisme/komunisme, di mana masing-masing memiliki varian-varian. Seorang ilmuwan bernama Francis Fukuyama pernah mengatakan bahwa saat ini merupakan ‘akhir sejarah (the end of history)’, karena tidak ada lagi persaingan ideologi seperti halnya pada era Perang Dingin, di mana -menurutnya- pertarungan tersebut dimenangkan oleh kapitalisme. Kapitalisme telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang tak tertandingi di muka bumi, dan telah memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dengan berbagai kebijakan yang dihasilkannya. Benarkah demikian? Apakah tidak ada lagi perlawanan menentang kapitalisme, yang kini menjelma menjadi kapitalisme global dengan sebutan imperialisme atau neoliberalisme itu?


Kalau kita mencoba menengok ke Amerika Latin, maka kita akan melihat bahwa tesis Fukuyama di atas tidak sepenuhnya benar -kalau tidak bisa dikatakan salah-. Kuba, Brasil, Argentina, Uruguay, Bolivia, dan Venezuela merupakan beberapa negara yang menerapkan sistem ekonomi-politik sosialisme. Dan dalam tulisan ini penulis ingin sedikit mengulas perjalanan revolusi Bolivia yang mencoba melakukan perombakan sistem ekonomi yang dulunya kapitalis-indiviudualis menjadi sosialis-distributif. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita bersama untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia tercinta ini.

Bolivia merupakan sebuah negara kecil di Amerika Latin. Pada tahun 1937 di awal depresi global, suatu periode ketika tatanan dunia pada umumnya menyambut baik intervensi negara yang lebih besar dalam ekonomi (madzhab Keynesian), Bolivia melakukan kontrol terhadap sektor pertambangan (extractive sector). Setelah suatu pergeseran ke kanan yang perlahan tapi pasti, sebuah revolusi pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Nasionalis Revolusioner (MNR) berhasil menggulingkan rezim militer kanan dan menasionalisasi tambang timah terbesar di negeri itu, memulai reformasi tanah (land reform), dan memberikan hak pilih kepada perempuan dan kaum Indian yang sebelumnya tidak berhak memilih. Konteks global pada masa itu memang menunjukkan adanya peningkatan jumlah pemerintahan kiri, ditandai dengan kebangkitan Uni Soviet menjadi negara adidaya dan revolusi komunis di Cina. Pemerintahan revolusioner Bolivia disingkirkan 12 tahun kemudian, setelah itu negeri tersebut menjadi korban serangkaian pemerintahan militer dan rezim sipil lemah yang berjatuhan seperti domino.

Pada tahun 1993, Gonzalo Sanchez de Lozada -sang perancang kebijakan neoliberal pada tahun 1980-an- terpilih sebagai presiden. Sejak itu, ia melakukan privatisasi besar-besaran terhadap berbagai sektor ekonomi di negera itu. Langkah ini membolehkan penduduk asing memiliki setengah dari perusahaan yang sebelumnya merupakan korporasi publik atau negara dalam sektor-sektor strategis seperti petroleum, penerbangan, telekomunikasi, kereta-api, perusahaan listrik, dan seterusnya. Sejak awal, kebijakan restrukturisasi ini mendapatkan perlawanan yang sengit berupa aksi-aksi protes rakyat.

Gerakan-gerakan protes rakyat ini berawal dari serangkaian peristiwa seputar peringatan di tahun 1992 tentang Penaklukan oleh Spanyol 500 tahun sebelumnya. Gerakan penduduk asli mulai dibangun pada masa ini, dan memicu semakin tingginya aktivisme politik antara penduduk mayoritas negeri itu. dan titik balik yang terlihat jelas terjadi pada tahun 1999-2000 ketika diterapkan rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak perusahaan Bechtel Corporation, Aguas de Tunari. Dalam waktu beberapa bulan harga air meningkat drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif, termasuk suatu demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan beberapa lainnya terluka oleh militer. 'Perang Air' ini, sebagaimana biasa disebut, berujung pada pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga memperkuat gerakan anti-neoliberal yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan intensitas.

Pada tahun 2003, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populis berupa pembangunan pipa gas untuk tujuan ekspor gas ke Cile. Bagi rakyat banyak, kebijakan ini tidaklah menguntungkan mereka, dan ini hanyalah salah satu skema untuk mengekstraksi sumber daya alam Bolivia yang berharga demi keuntungan korporasi transnasional dan pihak asing. Dan pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembasmian koka dengan alasan pembasmian narkotika, padahal koka merupakan tempat sebagian besar penduduk negeri itu bergantung. Sehingga, pecahlah tragedi Oktober Hitam, yang mana presiden memerintahkan militer untuk menggunakan kekerasan dalam membubarkan blokade jalanan di La Paz dan pemukiman kumuh El Alto yang didirikan sebagai protes terhadap kebijakan presiden yang tidak merakyat. Setidaknya 100 orang ditembaki oleh militer dan banyak lainnya terluka. Gonzalo Sanchez de Lozada pun mengundurkan diri dan mencari suaka di Amerika Serikat, sementara wakil presidennya, Carlos Mesa Gisbert, mengambil kendali yang goyah terhadap pemerintahan hingga kejatuhannya dua tahun kemudian. Pada tahun 2004, dalam suatu referendum 80% suara rakyat memilih nasionalisasi terhadap sumber daya energi negeri itu. Luar biasanya, pemerintah memilih untuk mengabaikan mandat publik yang terang-terangan ini. Aksi-aksi protes pun merebak, dan memaksa Presiden Mesa mundur.

Pada Pemilu 2005, yang dipercepat dari seharusnya 2007 akibat pemaksaan mundur Presiden Mesa, terpilih seorang presiden yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan aspirasi hati nurani mayoritas rakyat Bolivia, yaitu Evo Morales, pemimpin Partai Movimiento a Socialismo (Gerakan Menuju Sosialisme) atau disingkat MAS, yang berarti "lebih". MAS terlibat secara aktif dalam ‘Perang Gas’ (menentang pembangunan pipa gas untuk tujuan ekspor ke Cile), bersama-sama dengan banyak kelompok lainnya, yang biasanya dirujuk sebagai "gerakan sosial". Ia memperoleh 54,3 persen suara menurut hasil resmi yang diumumkan pada 21 Desember 2005. Kemenangannya itu menunjukkan bahwa dukungan rakyat lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya sejak demokrasi dipulihkan di negara itu dua dekade lalu. Setelah terpilih, dia menyatakan akan memotong setengah gajinya untuk kepentingan pendidikan dan perluasan lapangan kerja.

Sejak itu, kebijakan demi kebijakan yang pro-rakyat digulirkan oleh Morales. Ia memilih para menteri dari kalangan aktivis dan memotong gaji mereka hingga 50% yang dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan bagi rakyat. Ia juga menasionalisasi perusahaan tambang migas di Bolivia, yang sebelumnya bak lumbung bagi korporasi-korporasi multinasional seperti Exxon Mobil, Repsol, Petrobras, Shell, dan lain-lain. Dan di bawah pemerintahannya pula penanaman koka, tanaman tradisional masyarakat suku Indian Aymar yang merupakan penduduk asli Bolivia, dilegalkan. Koka biasa digunakan dalam upacara adat dan pengobatan tradisional. Koka mentah juga dikonsumsi untuk menambah stamina para petani saat bekerja. Padahal, sebelum Evo Morales menjadi presiden, koka adalah tanaman terlarang karena bisa disalahgunakan menjadi narkotika kokain, dan AS menekan pemerintah untuk melakukan pembasmian koka dan mengalihkannya ke tanaman industri seperti lada dan kacang mademia. Tapi faktanya, harga yang didapat petani untuk hasil panen tanaman itu sungguh tidak kompetitif dengan harga koka dan sulit menemukan pasar untuk menjual komoditas tani ini. Sehingga dengan melegalkan koka, berarti Evo Morales telah memberi kemudahan dan meningkatkan kesempatan-kesempatan untuk para petani untuk ikut menghidupkan ekonomi Bolivia sembari melestarikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indian. Menurutnya, masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.

Bolivia di bawah Morales menambah sederet pemerintahan kiri-sosialis yang menentang imperialisme dan sistem neoliberal Amerika Serikat. Keyakinannya yang kuat, beserta dukungan yang didapatkannya dari rakyat yang sadar akan kebusukan neoliberalisme, telah memberikan kesempatan dan tugas yang harus diembannya dalam usaha menyejahterakan rakyat Bolivia. Dan ia telah melaksankan dan membuktikannya. Bagaimana dengan Indonesia?

Baca selanjutnya......

Saturday, April 2, 2011

Vokalis Green Day Ingin Menulis Untuk Teater Musikal

Kapanlagi.com - Dengan bakatnya menulis lirik lagu yang 'catchy', rupanya sang vokalis sekaligus gitaris Green Day, Billie Joe Armstrong ketagihan menulis musik untuk pertunjukan musikal. Niatannya ini dipicu oleh kesuksesan pertunjukan American Idiot yang dibawa ke panggung Broadway. Sang penyanyi dari band 'Boulevard of Broken Dreams' ini telah bekerja keras bersama anggota band lainnya, Mike Dirnt dan Tre Cool, dalam penggarapan versi Broadway American Idiot yang diselenggarakan April 2010 sampai sekarang di New York. Dan atas kesuksesan yang diraih, Billie menyatatakan bahwa dirinya ingin menulis untuk pertunjukan musikal lain.

"Kurasa akan sangat menarik kalau di masa depan aku bisa membuat karya yang dibuat khusus untuk satu pertunjukan. Inilah yang benar-benar ingin kulakukan," ungkap Billie. Pria ini juga menambahkan bahwa kemampuannya untuk menulis musik sesuai dengan panggung ini. "Jenis musik yang kusuka sangat langsung dan catchy, dan kau akan bisa mengenalinya dengan cepat. Dan aku berusaha menulis musik seperti itu. Sama halnya dengan teater musikal, kau akan bisa segera mengenali lagunya. Hanya yang bagus, anyway," lanjutnya.

Pertunjukan American Idiot yang diambil dari album mereka di tahun 2006 silam ini telah menuai tanggapan yang sangat baik, dengan enam penghargaan, dua di antaranya dari Tony Awards tahun lalu, juga penjualan tiket yang cukup fantastis.

Baca selanjutnya......

Subcomandante Marcos

Membisu maka suara kita meluruh….

Topeng balaclava tak pernah lepas menutup seluruh wajahnya. Tak ketinggalan juga ceruta yang selalu menempel erat di mulutnya, ikut kemana pun ia pergi. Dunia pun terus bertanya-tanya, “siapa orang dibalik topeng itu?” Pertanyaan itu terus berkecamuk dan menimbulkan berbagai spekulasi hingga sekarang tentang siapa si misterius dibalik topeng itu. Tak ada jawaban pasti, hanya sekedar terkaan belaka yang sangat sulit dibuktikan kebenarannya. Orang dibalik topeng itu bisa saja berganti setiap waktu sesuai keadaan tanpa ada yang tahu. “Subcomandante Marcos hanyalah sebuah simbol bagi perlawanan masyarakat adat,” tegas orang dibalik topeng itu.

Banyak pihak memperkirakan, orang dibalik topeng itu adalah salah satu professor muda di salah satu universitas di Meksiko. Ada lagi yang mengatakan, ia adalah mantan gerilyawan marxis yang telah lama menghilang dan sekarang muncul kembali dengan wajah baru. Namun, itu hanyalah rekaan saja karena tak ada yang tahu siapa sebenarnya Subcomandante Marcos itu. orang dibalik topeng balaclava itu juga tak pernah mau membuka topengnya kepada siapa pun sehingga misterinya tetap terjaga. Apalagi, semua pasukan pemberontak (EZLN) memakai topeng yang mirip dengannya. Tanpa wajah, hanya mata saja yang terlihat karena Subcomandante Marcos sejatinya adalah simbol perlawanan. Simbol perlawanan yang apabila eksistensinya dimatikan, maka pemberontakannya akan terus hidup karena tidak bergantung pada satu orang tapi keputusan bersama (klandestine).

Subcomandante Marcos. Inilah nama yang membuat seluruh dunia tercengang pada 1 Januari 1994. Tanggal yang bertepatan dengan pemberlakuan North America Free Trade Agreement (NAFTA) di Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko. Di Chiapas, Meksiko, Subcomandante Marcos mengumumkan adanya pemberontakan masyarakat adat dengan anam Ejercito Zapatista Liberacion Nacional (EZLN) terhadap pemerintahan. Tepat pergantian tahun, mereka menyerbu San Cristobal de Las Casas (Balaikota Chiapas) untuk melakukan pemberontakan dan mengumumkannya ke berbagai kantor berita di dunia.

Penyerbuan itu berlangsung sukses dan seluruh dunia pun langsung mengetahuinya. Tak hanya itu saja, mereka juga membuat seluruh dunia kaget karena gerakan ini tak pernah diduga akan muncul sebelumnya. Dengan status sebagai pemberontak, EZLN terus melakukan perlawanan terhadap rezim neoliberal di Meksiko. Tanpa henti, dibawah komando Subcomandante Marcos, EZLN terus melawan rezim yang hanya menginginkan penggunaan logika pasar dalam kehidupan. Anehnya, meski pemberontak, EZLN tak ingin menjadi penguasa atau mengganti ideologi negara Meksiko. Mereka memperjuangkan demokrasi, kebebasan, dan keadilan dengan dibukanya ruang publik yang bebas intervensi. ”Bendera, UUD, lagu kebangsaan, pahlawan-pahlawan nasional: hal-hal yang sering dianggap usang inilah yang memberi jiwa gerakan Zapatista,” tegas Comandante Ramona pada Februari 1994.

Bagi EZLN, pemberlakuan NAFTA merupakan hukuman mati terhadap petani kecil dan masyarakat adat. Neoliberalisme sebagai ideologi pasar merupakan ancaman bagi eksistensi masyarakat adat karena kehidupan tak hanya dinilai dari uang. Neoliberalisme menghancurkan eksistensi masyarakat adat karena mereka harus memrivatisasikan tanah adat yang sejatinya tak sekedar tempat berpijak. Didalamnya mengandung memori, harapan, dan sejarah masyarakat adat. Ini adalah sebuah kejahatan yang sungguh kejam dengan topeng keuntungan material. Selain itu, neoliberalisme juga juga akan meminggirkan kelompok minoritas karena mereka dipaksa untuk sama atau seragam dengan menghilangkan identitas yang melekat pada dirinya. “Zapatismo bukanlah suatu ideologi. Ia bukan doktrin terima jadi…karena di tiap tempat jawabnya berlainan. Zapatismo semata mengajukan tanya sambil menegaskan bahwa pluralislah jawabannya, inklusiflah jawabannya…” papar Subcomandante Marcos dalam sebuah komunikenya.

Dengan gaya khasnya, Subcomandante Marcos terus melancarkan “serangan” mematikannya ke seluruh dunia. Dunia pun dibuat marah, terkejut, dan terkagum-kagum dengan “bom” yang terus ia hujankan. Dari tempat yang tak pernah terdeteksi di pedalaman hutan belantara Chiapas, “bom” dengan denominator melebihi kekuatan nuklir itu terus ia lontarkan tanpa henti. Tak ada korban jiwa yang jatuh, hanya kuping panas rezim pro pasar dan dukungan dari seluruh penjuru dunia yang mengalir menanggapi “bom” yang ia lontarkan. Apakah senjata mematikan itu? Neil Harvey dalam tulisannya yang berjudul The Political Nature of Identities, Borders, and Orders: Discourse and Strategy in the Zapatista Rebellion mengatakan, senjata mereka adalah kata-kata.

Kata adalah Senjata

Dalam keheningan orang-orang adat ini melihat dan dilihat. Dalam keheningan mereka merasa angin dari bawah sedang bertiup. Dalam keheningan orang-orang adat ini tahu…

Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserrta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para pemberontak EZLN. Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi. Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos, sejnta utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.

Dengan puisi dan cerpennya, gerakan Zapatista “menyerang” seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Cerpen karya Subcomandante Marcos tentang kisah seekor kumbang kecil yang melawan neoliberalisme berjudul Durito adalah karya monumentalnya. Bahkan, di harian La Jornada, Subcomandante Marcos bersahut-sahutan menulis cerpen bersambung dengan salah satu sastrawan Meksiko. Subcomandante Marcos juga secara rutin mengirimkan komunike EZLN ke seluruh dunia melalui saluran internet. Tulisan tentang Durito dan komunike ini mengilhami berbagai macam pemikiran tentang pentingnya ruang publik dan penghentian marjinalisasi kelompok minoritas. Secara keseluruhan, EZLN mengilhami berbagai macam gerakan anti-neoliberalisme. Salah satu bukti nyatanya adalah adanya protes dalam setiap KTT WTO, G-8 (sekarang berganti G-20), serta lainnya.

Namun, tanda tanya besar senantiasa muncul tentang gerakan kata-kata mereka. Bagaimana cerpen atau komunike itu bisa tersebar ke selutruh dunia karena belantara Chiapas tak terhubung dengan saluran komunikasi dan informasi? Bagaimana komunike itu ditulis menggunakan data-data terbaru karena mereka tinggal di tengah hutan belantara? Bagaimana cara mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar?? Inilah beberapa pertanyaan penting yang samapi sekarang belum bisa terjawab. Hidup di tengah hutan belantara tapi dapat terus mengakses informasi dan merespon keadaan dunia kontemporer secara detil.

Dengan kata-kata, Zapatista dan Subcomandante Marcos berusaha melawan hegemoni dunia yang berpaham neoliberalisme. Bagi Zapatista, masyarakat adat harus tetap mendapatkan hak mereka secara penuh dan tetap dihormati sebagaimana adanya. Meskipun minoritas, masyarakat adat adalah bagian dari dunia, begitupula kelompok-kelompok marjinal lainnya. Mereka harus dapat tempat semestinya tanpa harus dipinggirkan oleh kekuasaan. Keseragaman hanya akan memperburuk wajah dunia. Dunia akan tampak lebih indah dengan keragaman yang ada didalamnya. Selain itu, keberadaan negara adalah sesuatu yang penting untuk melindungi rakyatnya. Negara tak boleh jatuh ke tangan pemilik modal agar kepentingan semua pihak bisa terpenuhi. Bukan sekedar akumulasi kapital saja. Karena itu, dunia yang lain adalah mungkin…

Baca selanjutnya......