Friday, June 8, 2012

Kisah Pengusaha Batik Tulis Madura (Dra. Surayyah Ismail Kuddah)

Ny Surayyah sedang memberikan penjelasan kepada pengunjung tentang batik tulis madura pada pameran binaan Bank Mandiri di Mall Taman Anggrek Jakarta Batik Madura telah dikenal keseluruh penjuru nusantara bahkan Internasional, dengan itulah seorang pengusaha asal Madura yang bernama lengkap Dra. Surayyah Ismail Kuddah seorang wanita kelahiran pamekasan, 1 Mei 1958 mengembangkan usaha miliknya SHORAYA BATIK di pamekasan Madura. Usaha yang dirintis Ny Surayyah sejak 1978 di Jalan Segara 67 Pamekasan Madura yang bernilai omset puluhan juta rupiah per bulan ini dibantu 10 orang karyawan, berkat kesuksesan ibu satu anak ini telah mengembangkan usahanya dengan membina 20 badan usaha yang sama telah merambah pemasarannya hingga mancanegara. Sejak umur 20 tahun dia memulai karir bisnisnya dengan memasarkan dikalangan teman-teman kampus dan dosen IKIP Malang, hasil dari penjualan batik tulis karya sendiri ini hingga dia dapat menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang psikologi pendidikan. Pada tahun 2005 usaha miliknya mengalami kebangkrutan hingga tak satupun asset usaha yang tertinggal.
Dari keterpurukan itu kemudian Ny Surayyah banting stir untuk mencoba bisnis yang lain yaitu bisnis garmen tetapi dalam perjalanannya bisnis garmen membutuhkan tenaga yang cukup besar bahkan sering meninggalkan putri semata wayangnya sendirian dirumah yang sangat membutuhkan belaian kasih sayang seorang ibu karena harus sering kejakarta untuk mengambil bahan-bahan garmennya.
Kemudian Ny Surayyah pernah menjadi anggota Pegawai Negri Sipil di pamekasan Madura, oleh karena bakat yang didapat dari kedua orang tuanya adalah pebisnis batik maka menjadi seorang Pegawai Negri Sipil juga tidak bisa betahan lama, hingga pada akhirnya Ny Surayyah kedatangan seorang teman yang kebetulan karyawan Bank Mandiri Surabaya, teman tersebut menyarankan untuk tetap berbisnis Batik Tulis Madura buatannya sendiri karena produk buatannya itu sudah dikenal diseluruh penjuru negri bahkan mancanegara.
Dalam pembicaraan dengan teman itu “dari mana modalnya?” teman tersebut menyarankan untuk mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri, pada tahun 2003 Ny Surayyah memberanikan diri untuk mengajukan peminjaman dana sebesar 50 juta dengan bunga 6 %, permohonan tersebut langsung dikabulkan pihak Bank Mandiri Surabaya. Sejak saat itu usaha Batik Tulis Madura milik Ny Surayyah semakin melebarkan sayap usahanya dengan membina 20 badan usaha Batik Tulis Madura yang didanai langsung oleh Bank Mandiri Surabaya.
Pinjaman ini sangat membantu Ny Surayyah dalam mengembangkan usaha Batik Tulis Madura miliknya. Kredit yang diberikan Bank Mandiri tidak hanya sebatas pinjaman saja, tetapi Bank Mandiri memberikan pelatihan dan membantu memasarkan Batik Tulis Madura usaha miliknya. Bahkan menurut pengakuannya pinjaman dari Bank Mandiri ini apabila jatuh tempo tidak dikenakan sangsi atau denda apapun, inilah yang membuat Ny Surayyah begitu nyaman menjalankan usahanya tanpa harus memikirkan denda apabila terlambat membayar angsuran.
Pada awal tahun 2011 PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) kembali mengucurkan kredit mikro hingga Rp6,5 triliun kepada lebih dari 545 ribu debitur, atau tumbuh 45 persen dibanding realisasi pengucuran kredit tahun 2010 yang sebesar Rp4,5 triliun dengan NPL (gros) terjaga di level empat persen.

Bank Mandiri mencatat portofolio kredit mikro terbesar pada sektor perdagangan, sebesar 49,5 persen dari total portofolio kredit mikro perseroan dan sektor jasa sekitar 40,4 persen. Kredit mikro merupakan kredit dengan besar plafon maksimal Rp100 juta, serta ditujukan untuk membiayai usaha-usaha mikro, termasuk usaha rumah tangga. Saat ini baru sekitar 30 persen dari total sekitar 16 juta usaha mikro dan kecil yang sudah menikmati fasilitas pembiayaan kredit mikro. Padahal sektor mikro ini dinilai sebagai bidang usaha yang menyerap banyak tenaga kerja dan terbukti mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi global yang terjadi beberapa waktu lalu.
Selain seorang pebisnis Batik Tulis Madura wanita yang lulusan IKIP Malang bergelar DRA ini juga seorang aktivis perlindungan anak dan perempuan di pamekasan Madura, oleh kepiawaiannya dalam berbicara dia sering diundang diberbagai stasiun radio, sekolah dan berbagai pelatihan tentang entrepreneursip di pemerintahan. Melalui media-media inilah Ny Surayyah semakin dikenal oleh kalangan pebisnis dan pemerintah sebagai seseorang yang tidak hanya sekedar pebisnis yang handal tetapi berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Batik Tulis asli Madura.
Menurut Ny Soraya menjadi seorang pengusaha harus memiliki motivasi yang kuat, Sukses tidaknya seorang pengusaha ditentukan dirinya sendiri. Karena itu kiat sukses pengusaha berawal dari sebuah kemauan yang kuat, sikap yang pantang menyerah, mau menerima kritik, ulet, belajar dan usaha keras adalah modal awal dan utama seorang pengusaha sukses, namun ada satu yang terpenting yaitu kekuatan doa. Yakinlah selalu ada Tuhan yang ikut campur dalam setiap langkah kita, termasuk ketika kita memuali suatu usaha demikian tuturnya. (AR)

Baca selanjutnya......

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menanti angin segar kebijakan OJK

Kehancuran Lehmann Brothers menjadi puncak krisis kredit perumahan murah atau subprime mortgage di AS, yang merembet ke krisis keuangan global sampai sekarang. Para pemimpin G20 tak ingin kejadian tersebut terulang kembali. Berkaca dari perekonomian global, Bank Indonesia dan pemerintah dalam hal ini melakukan perbaikan dalam pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank. Pengawasan dan pengaturan oleh Bank Indonesia bagi pelaku industry BPR hingga desember 2011 mengalami pertumbuhan sangat baik. Maka sudah tentunya dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan lembaga indevenden ini diharapkan masa depan industry BPR akan semakin membaik.
Berdasarkan data PERBARINDO, Pertumbuhan industri BPR selama tiga tahun terakhir cukup menggembirakan, terutama juga ditinjau dari sisi total asset, dimana jumlah BPR dengan asset “kecil” semakin menurun. Pada tahun 2009, BPR dengan total asset diatas Rp 10 miliar hanya 779 unit, namun pada tahun 2011 naik menjadi 1.002 unit. Sedangkan BPR dengan total asset antara Rp 5 – 10 miliar, pada tahun 2009 berjumalh 479 unit, turun menjadi 387 unit di tahun 2011. BPR dengan total asset Rp 1- 5 miliar di tahun 2009 berjumalh 429 unit, turun menjadi 264 unit pada tahun 2011. Sedangkan BPR dengan total asset dibawah Rp 1 miliar jumlahnya terus mengalami penurunan yaitu dari 46 unit di tahun 2009 menjadi 16 unit ditahun 2011.
Bila dilihat dari jumlah dana dari pihak ketiga (DPK), pertumbuhan selama 2 tahun terakhir juga mengalami tren yang sangat pisitif. Dana yang tersimpan dalam produk tabungan pada tahun 2010 sebesar Rp 9.856 miliar dengan 7.804 rekening, pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 12.035 miliar dengan 8.551.718 rekening atau masing-masing tumbuh 19.16% dan 22.10%. sementara itu, dana yang dihimpun dalam bentuk deposito pada tahun 2010 sebesar Rp 21.455 miliar dengan 413.082 rekening, pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 26.174 miliar dengan 424.840 rekening atau masing-masing tumbuh 24.10% dan 22.05%. Begitu pula dengan pertumbuhan kredit BPR, pada tahun 2010 jumlah kredit yang tersalurkan mencapai Rp 33.844 miliar, mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2011 mencapai Rp 41.100 miliar atau tumbuh sebesar 21.44%.
Joko Suyanto ketua umum perbarindo pada seminar perbarindo dihotel panin sula jakarta mengatakan, sangat menyandarkan harapan kepada pemerintah dan Bank Indonesia untuk secara progresif mengeluarkan regulasi yang lebih mendukung industri BPR agar dapat tumbuh secara berkesinambungan dan mampu bersaing dengan sehat.
Menurut Arif Budiarto Dirut PD.BPR Bank Daerah Kota Pati, kondisi dilapangan sekarang bukan semakin mudah untuk industry tetapi justru semakin berat, karena posisi BPR ini sekarang semakin terjepit. Disektor mikro dan kecil yang sebenarnya secara riil dilapangan tidak banyak berubah tetapi yang melayani justru semakin banyak baik dari lembaga keuangan bank maupun non bank. Sekarang ini lembaga keuangan non bank sudah beroperasi layaknya bank dan sudah semakin berkembang karena mereka sering mendapat bantuan dari pemerintah maupun perbankan. Mereka diuntungkan dengan tidak adanya regulasi dan pengawasan yang sangat ketat dari Bank Indonesia karena mereka bernaung dengan UU yang lain, bukan UU perbankan, sehingga kadang dapat berinisiatif sesuai dengan kemauan mereka tanpa ada yang mengatur.
Memang hampir semua lembaga keuangan memberikan perhatian khusus pada kredit mikro dengan argument bahwa resiko kredit mikro lebih kecil. Saat ini yang aktif memberikan kredit mikro selain lembaga keuangan, BUMN juga ambil bagian lewat program CSR (corporate social responsibility). Jadi dapat dibayangkan betapa ketatnya persaingan yang dialami BPR yang focus utamanya adalah kredit mikro. Namun pelaku BPR boleh berbangga hati, ditengah gempuran yang demikian hebat dari lembaga penyalur kredit mikro resmi dan tidak resmi, BPR masih dapat bertumbuh kembang dengan baik, ujarnya.
Sementara itu, Head Marketing PT. BPR Artharindo Asep Purqon mengatakan, walaupun pemerintah menurunkan suku bunganya lebih rendah dari BPR, Artharindo tetap menyalurkan perkreditan. Menurut dia, nasabah PT.BPR Artharindo sangat dimanjakan dengan pelayanan yang cepat ketimbang bank umum “kalo bank umum bisa satu bulan, nah,kalau di BPR Artharindo bisa satu minggu”. Kemudian bunga paling kecil dari BPR-BPR lain sejabodetabek yaitu sebesar 13-16 rate per tahun, ungkap Asep.
Industri BPR yang terus mengalami pertumbuhan dengan menunjukan bahwa jangkauan pelayanan BPR semakin luas dan keberadaan BPR semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Memang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industry BPR telah dan akan terus mengalami perubahan yang sangat cepat, pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan mikro baru, perubahan tingkat pendapatan masyarakat, sehingga BPR dihadapkan dengan persaingan yang lebih kompetitif khususnya dalam melayani UMKM. Tentunya prestasi tersebut perlu dipertahankan bahkan terus ditingkatkan oleh para pelaku industry BPR. Apalagi dengan kondisi persaingan yang semakin kompetitif dengan masuknya bank asing dan bank umum ke segmen ritel yang selama ini menjadi market share terbesar bagi BPR. (AR)

Baca selanjutnya......