Tuesday, December 14, 2010

E-Z-L-N


Di negeri ini, di mana politik berlangung tanpa keyakinan, tapi juga tanpa ironi, saya ingat akan seorang ramping yang bertopeng dan bersenjata, yang keluar dari kancah gerilya di hutan Lacandon di pedalaman Meksiko, dengan kantong peluru di pinggang tapi mengisap pipa kecil seperti seorang penyair yang melamun.
Ia menarik bukan hanya karena ia sebuah sosok yang fotogenik. Ia menarik karena ia, Subcomandante Marcos, adalah contoh sebuah perjuangan dengan keyakinan tapi sekaligus dengan kesadaran akan ironi, seorang yang bertindak untuk sebuah perubahan besar tapi dengan kepekaan akan batas, seorang pemimpin sayap militer gerakan Zapatista yang mencoba memahami sifat perjuangannya sendiri sebagai sebuah paradoks.
“Apa yang harus kita ceritakan adalah paradoks yang sesungguhnya adalah kita,” katanya dalam sebuah wawancara dengan mendiang Gabriel Garcia Marquez, yang dimuat versi Inggrisnya dalam New Left Reviewnomor Mei-Juni 2001.
Ada yang ganjil memang dalam EZLN, sebuah singkatan untuk tentara pembebasan nasional Zapatista. “Tentara kami sangat berbeda dengan yang lain-lain, karena tentara ini menyarankan agar berhenti sebagai sebuah tentara,” kata Marcos. “Seorang prajurit adalah seseorang yang absurd yang harus menggunakan senjata untuk meyakinkan orang lain; dan dalam arti itu gerakan ini tak punya masa depan jika masa depannya adalah militer.”
Bagi Subcomandante Marcos, yang terburuk yang bisa terjadi pada gerakan Zapatista ialah bila nanti ia menang dan duduk dalam kekuasaan dan memperkuat diri dengan membentuk sebuah tentara revolusi. Di tahun 1995 Marcos memang telah mengatakan, jika suara Zapatista didengar di seluruh dunia, itu karena ada sesuatu yang baru di dalam semangatnya: bagi gerakan ini, problem politik dipisahkan dari problem pengambilalihan kekuasaan.
Ia memang berbeda dengan “Che” Guevara, Fidel Castro, kaum Sandinista, dan sejumlah gerilyawan sayap kiri yang jadi pendahulunya di Amerika Latin di tahun 60-an dan 70-an. Sukses mereka, kata Marcos, akan merupakan sebuah fiasco bagi Zapatista. Zaman telah berubah. Kemenangan gerakan dan gerilya sayap kiri seperti di Kuba ternyata akhirnya menunjukkan kegagalan atau bahkan kekalahan yang “tersembunyi di balik topeng keberhasilan”. Sebab bagi Marcos, yang tak terpecahkan di sana adalah peran civil society di tengah sengketa antara “dua hegemoni”. Yang pertama kekuasaan yang menindas, yang mengatur segala hal atas nama masyarakat. Yang kedua kekuasaan yang melawan si penindas dan kemudian ketika menang juga mengatur segala hal atas nama masyarakat.
Masyarakat sendiri tak punya peran dan bagi mereka hidup tak juga berubah. Dalam banyak segi, Zapatista memang “Kiri” dalam arti yang baru. Bagi kaum “Kiri” dalam tradisi Marxis-Leninis, ide-ide Marcos yang tak tertarik untuk mengambil alih kekuasaan-dan akan selalu memilih posisi sebagai “pengganggu” kekuasaan yang ada-sedikit mirip lamunan kosong. Bagaimana mungkin mengubah kehidupan tanpa memegang kendali perubahan? Dan bagaimana memegang kendali tanpa menunjukkan diri sebagai yang paling siap, paling ulung? Tapi bagi Marcos, ide dasar Zapatista memang berbeda. Gerakan ini hendak membuka ruang bagi pencarian jalan ke arah keadilan, tapi ia tak berkokok bahwa ia membawa suara mayoritas, seperti umumnya kelompok pelopor revolusi. EZLN, kata Marcos dalam wawancara dengan Marquez, “mengenali cakrawala yang nyata dirinya sendiri.” Baginya, “Percaya bahwa kita dapat berbicara atas nama mereka yang di luar jangkauan kita adalah masturbasi politik.”
Dan inilah yang dikatakannya di tahun 1995: “Kami berharap rakyat akan memahami bahwa cita-cita yang menggerakkan kami adil, dan bahwa jalan yang kami pilih juga adil, [tapi ia] bukan satu-satunya jalan. Bukan pula jalan yang terbaik dari semuanya….”
Sebuah filsafat politik yang liberal yang tersembunyi di balik perlawanan terhadap struktur ekonomi neoliberal, yang membuat Zapatista jadi inspirasi kaum progresif di dalam demonstrasi Seattle maupun di Genoa? Mungkin kita tak bisa, dan tak perlu, meletakkan Marcos dalam salah satu kotak yang sudah ada. Zaman dan pengalaman telah mengajarkan kepadanya perlunya ironi –juga ketika orang angkat senjata dengan kehendak akan perubahan besar– dan dengan itu cap apa pun akan tampak berlebihan, menggelikan.
Ia, dengan bedil di tangan dan ikat leher robek-robek yang telah mangkak warna merahnya selama bergerilya, selalu bersama novel Don Quixote di dekatnya. Novel Cervantes ini baginya “buku teori politik yang terbaik”, bersama Hamlet dan Macbeth. Kesusastraan, terutama puisi, terutamaRomancero Gitano-nya Lorca, datang lebih dulu ke ruang hidup pemimpin gerilya ini — datang sebelum Marx dan Engels masuk ke kepalanya. Ia berkata kepada Marquez, bahwa ketika ia masuk ke dalam Marx dan Engels, ia telah sepenuhnya dirusak oleh kesusastraan, “ironinya, dan humornya”.

Ironi, humor: celah-celah yang menyela di tengah kedapnya keyakinan dan angkuhnya agenda yang besar. Di sebuah negeri, di Indonesia, di mana politik berlangsung tanpa keyakinan, tapi juga tanpa ironi, di mana bukan hanya ideologi yang mati, tapi juga ide, di mana agama tak mengubah perilaku politik, tapi sebaliknya, di mana tak seorang pun tersenyum kecil mengenali kekuasaan sebagai sebuah kursi yang norak tapi dikejar-kejar dalam komedi manusia, ya, di Indonesia, di negeri ini, orang seperti Subcomandante Marcos mungkin akan membayang seperti sebuah dongeng yang ganjil dan tak perlu –tapi mungkin karena itu saya ingat kepadanya.

1 comment:

Unknown said...

aa ga capek apa nulis kyk gt...hehehhe