Sunday, December 26, 2010

Alfred Nilai Hal Nonteknis Ganggu Tim


Kuala Lumpur (ANTARA) - Pelatih Indonesia Alfred Riedl menyatakan ada hal nonteknis yang menganggu timnas jelang final pertama di Malaysia.

Adanya kegiatan agenda tak penting dari PSSI dan banyaknya permintaan wawancara pada pemain, kata Alfred Riedl mengganggu konsentrasi pemain.

"Hal itu tak perlu," katanya usai laga di Stadion Bukit Jalil, Minggu.

Dalam laga final pertama ini Indonesia menelan kekalahan pertamanya di Piala AFF 2010. Bermain di kandang Malaysia, Indonesia kalah 0-3.

Alfred Riedl mengingatkan, "Inilah sepak bola." Dari lima kali pertandingan kandang, Indonesia tak pernah kalah. Euforia terhadap timnas cukup tinggi.

Para pemain seperti kurang terlindungi dari kejaran wartawan, mulai dari pinggir lapangan latihan sampai di dalam pesawat.

Seperti diketahui adanya rombongan wartawan yang satu pesawat dengan rombongan Timnas.

Selain itu ada juga kegiatan PSSI bersama timnas ke rumah tokoh nasional dan ke sebuah pesantren di Jakarta, menjelang laga final pertama ini.

Jika ingin merebut gelar juara, Indonesia masih memiliki waktu 90 menit untuk mencetak gol banyak, setidaknya 4-0. Final kedua akan berlangsung di Jakarta, pada 29 Desember mendatang.

Yahoo News, Senin 27 Desember 2010

Baca selanjutnya......

Saturday, December 25, 2010

Prediksi Valencia vs Villarreal.


Dua klub yang sama-sama menghuni wilayah otonomi Valencia ini kerap terlibat pertandingan keras. Rekor head to head sejak klub yang disebut belakangan ini naik promosi ke Primera Division menunjukkan komparasi 11-6-10. Komparasi diatas membuktikan Villarreal tak pernah gentar tatkala bersua Valencia.

Hanya, total 10 kemenangan Villarreal ini diborong di pentas La Liga. Sementara itu, 3 dari 11 sukses Valencia atas Villarreal diraih pada pentas cup competittion. Satu di semifinal Piala UEFA dan dua di 16 besar Copa del Rey. Suatu bukti bahwa Valencia lebih cerdik dalam mengoptimalkan duel home and away bersistem gugur.
Benar tidaknya hipostesis ini akan terjawab saat keduanya melakoni 1st leg perdelapan final Copa, Rabu, 22 Desember 2010 dan 2nd leg pada 6 Januari 2011. Mengacu pada kebiasaan ini, tim papan atas lazim menurunkan skuad lapis kedua karena pertimbangan baru dan akan melakoni La Liga pada weekend-nya. Akan tetapi, khusus pertemuan pertama, bisa dipastikan kedua pelatih bakal tampil full team.
Pertama jelas karena alasan gengsi satu wilayah, dimana Villarreal sedang berada di atas Valencia pada clasificacion Primera. Faktor kedua berhubungan erat dengan bentrokan pada jornada ke-12 lalu yang berkesudahan 1-1 tatkala Villarreal bertindak sebagai tuan rumah. Aspek terakhir berkaitan dengan libur Natal dan Tahun Baru.

Mumpung liga domestik baru bergulir 2 Januari 2011, Unai Emery di kubu Valencia maupun Juan Carlos Garrido di kubu Villarreal bisa memaksimalkan tenaga para jugador agar grafik mentalitas skuad tak terganggu.
So, beruntung publik Mestala bisa menikmati suguhan laga berkualitas wahid di babak yang semestinya belum mempertemukan dua klub besar itu.

Head to head Valencia vs Villarreal:
11 Jan 2006: Valencia 1-0 Villarreal
04 Jan 2006: Villarreal 0-2 Valencia
06 Mei 2004: Valencia 1-0 Villarreal
Prediksi Susunan dan Formasi Pemain Valencia vs Villarreal:
Valencia (4-4-2): 13-Guatia, 15-Dealbert, 4-D.Navarro, 20-R.Costa, 23-Miguel, 19-P.Hernandez, 18-Fernandes, 24-Tino Costa, 14-Vicente, 11-Aduriz, 10-Mata.
Cadangan: 25-Moya, 2-Bruno, 5-Topal, 7-Joaquin, 28-Alba, 9-Soldado.
Villarreal (4-4-2): 13-Diego Lopez, 6-Lopez, 2-Gonzalo, 4-Musacchio, 11-Capdevilla, 10-Cani, 20-Borja Valero, 19-Senna, 8-Cazorla, 7-Nilmar, 22-Rossi.
Cadangan: 25-J.Carlos, 27-Mario, 17-Mati, 23-J.Montero, 21-Bruno, 12-Altidore.

Prediksi Skor Pertandingan Valencia vs Villarreal : Villarreal menang dengan skor 1-2.

Baca selanjutnya......

Monday, December 20, 2010

Cavez meet Ahmadinejed


Wednesday, October 20, 2010 13:42 GMT
Venezuelan President Hugo Chavez is meeting with Iranian President Mahmoud Ahmadinejad in talks aimed at boosting the bilateral ties in areas of energy and trade. The visit, the ninth of Chavez to Iran, is the latest stop on a 10-day international tour by the Venezuelan leader that aims at boosting Venezuela Trade ties with eastern European and Middle Eastern Countries. Venezuela and Iran the two enemies of Washington have many bilateral cooperation agreements the number of which reaches 80 said Venezuela Ambassador in Teheran. These agreements are concentrated in the fields of energy, banking and industry.

from: www.alsumaria.tv

Baca selanjutnya......

Saturday, December 18, 2010

Semu DEMOKRASI Yang SEMU

Mengarungi samudra kehidupan bukan hadiah termegah yg diterima petakalah didapat.selama hembusan nafas borjuasi kafitalisme masih terasa pada tetesan keringat dan darah buruh,selama itu pula ilusi kemakmuran dan kelayakan semakin menampakan wujud kebiadabannya.

Nurani hanyalah dalih pertahanan borjuasi kafitalisme lewat jalur pemanfaatan fanatik agama. Masa berganti masa nafas revolusi telah berhembus dari latin,asia dan iran. Sudah saatnya nafas itu dihembuskan kebumi para pendusta ini (NEGERI PELAYAN KAFITALISME NASIONAL DAN INTERNASIONAL), cukup sudah kau (kafitalisme) menancapkan kuku-kuku biadabmu disetiap negri atau teritori jajahanmu.

Saatnya pemuda meniupkan bara revolusi guna menghentikan propaganda negara-negara adidaya yang setiap detak jantung selalu menghisap darah dari rakyat jelata,kobaran api perlawanan guna perubahan (revolusi) akan memberikan babak baru semakin ketidak percayaan pada ilusi-ilusi surga demokrasi oleh bangsa-bangsa biadab eropa dan amerika serikat.

Baca selanjutnya......

Friday, December 17, 2010

Kewenangan Presiden Chavez Diperluas

CIRACAS--MICOM:Parlemen Venezuela menyetujui perluasan kewenangan khusus bagi Presiden Hugo Chavez untuk menangani permasalahan pascabanjir besar yang melanda negara itu. 

Dengan kekuatan barunya itu Chavez diberi kewenangan untuk mengeluarkan undang-undang baru melalui dekrit, tanpa harus mendapatkan dukungan dari Kongres. 

Perluasan kewenangan ini awalnya hanya diberikan selama satu tahun untuk melaksanakan penanganan darurat yang disebabkan oleh banjir dan tanah longsor yang menewaskan sekitar 40 orang dan menyebabkan 140.000 orang kehilangan rumah, tetapi Majelis Nasional memperpanjangnya hingga 18 bulan. 

Ini adalah keempat kalinya Chavez mendapatkan otoritas yang luas sejak dia menjabat sebagai presiden 12 tahun lalu. 

Kepala Majelis, Cilia Flores, mengatakan, parlemen mengeluarkan keputusan ini untuk merespon keinginan para korban banjir. 

"Jadi ini bisa membuat mereka bisa memiliki jalan, jalan layang, pelayanan publik, listrik. Semuanya yang bisa membuat mereka hidup bermartabat, kami akan mendengar semua kepedulian dan keinginan mereka," katanya. 

Chavez sendiri mengatakan dia sudah menyiapkan sekitar 20 undang-undang baru yang akan dia keluarkan melalui dekrit. Termasuk di antaranya adalah kebijakan untuk meningkatkan pajak pertambahan nilai untuk membiayai rekonstruksi dan pembangunan kembali ribuan rumah bagi korban banjir. 

Tapi keputusan perluasan kewenangan ini dianggap oposisi sebagai kebijakan yang bisa mendekatkan kepada kekuasaan diktator. 

Kelompok oposisi mengatakan, waktu penetapan undang-undang baru sengaja dilakukan pada saat ini karena masa persidangan parlemen yang didominasi oleh para pendukung Presiden akan berakhir dalam beberapa pekan. Kongres baru berjalan pada Januari dengan lebih banyak lagi anggota oposisi yang duduk di kursi parlemen hasil pemilihan umum September lalu. Tentunya ini bisa mempersulit Chavez untuk mengeluarkan undang-udang baru. 

Seorang anggota kongres baru dari partai oposisi Julio Borges mengatakan penerbitan undang-undang baru pada saat ini bertujuan ''untuk memberi kekuatan lebih bagi pemerintah dan mengambil kekuatan rakyat''. 

Tetapi oposisi menyatakan akan terus memperjuangkan agar perluasan kewenangan yang disebut sebagai "proyek Kuba" ini gagal. 

Menanggapi hal ini Chavez membantahnya dengan mengatakan, dia akan besikukuh unguk memperkuat revolusi sosial. 

"Kita tengah membangun sebuah demokrasi baru dan tidak bisa berbalik arah," katanya. 

Selain akan digunakan untuk proyek bantuan dan rekonstruksi daerah yang terkena musibah banjir, perluasan kewenangan ini juga membuat dia memegang kendali penuh di sektor perbankan dan keuangan, penggunaan lahan kota dan desa, telekomunikasi, pertahanan dan keamanan. 

Periode 18 bulan perluasan kewenangan ini juga akan membuat barisan oposisi di parlemen tidak bisa mengintervensi kebijakan yang dibuat Chavez sebelum pertengahan tahun 2012 ketika pemilihan presiden akan dilaksanakan.  


(Media Indonesia : Sabtu,18/12/2010)

Baca selanjutnya......

Tuesday, December 14, 2010

E-Z-L-N


Di negeri ini, di mana politik berlangung tanpa keyakinan, tapi juga tanpa ironi, saya ingat akan seorang ramping yang bertopeng dan bersenjata, yang keluar dari kancah gerilya di hutan Lacandon di pedalaman Meksiko, dengan kantong peluru di pinggang tapi mengisap pipa kecil seperti seorang penyair yang melamun.
Ia menarik bukan hanya karena ia sebuah sosok yang fotogenik. Ia menarik karena ia, Subcomandante Marcos, adalah contoh sebuah perjuangan dengan keyakinan tapi sekaligus dengan kesadaran akan ironi, seorang yang bertindak untuk sebuah perubahan besar tapi dengan kepekaan akan batas, seorang pemimpin sayap militer gerakan Zapatista yang mencoba memahami sifat perjuangannya sendiri sebagai sebuah paradoks.
“Apa yang harus kita ceritakan adalah paradoks yang sesungguhnya adalah kita,” katanya dalam sebuah wawancara dengan mendiang Gabriel Garcia Marquez, yang dimuat versi Inggrisnya dalam New Left Reviewnomor Mei-Juni 2001.
Ada yang ganjil memang dalam EZLN, sebuah singkatan untuk tentara pembebasan nasional Zapatista. “Tentara kami sangat berbeda dengan yang lain-lain, karena tentara ini menyarankan agar berhenti sebagai sebuah tentara,” kata Marcos. “Seorang prajurit adalah seseorang yang absurd yang harus menggunakan senjata untuk meyakinkan orang lain; dan dalam arti itu gerakan ini tak punya masa depan jika masa depannya adalah militer.”
Bagi Subcomandante Marcos, yang terburuk yang bisa terjadi pada gerakan Zapatista ialah bila nanti ia menang dan duduk dalam kekuasaan dan memperkuat diri dengan membentuk sebuah tentara revolusi. Di tahun 1995 Marcos memang telah mengatakan, jika suara Zapatista didengar di seluruh dunia, itu karena ada sesuatu yang baru di dalam semangatnya: bagi gerakan ini, problem politik dipisahkan dari problem pengambilalihan kekuasaan.
Ia memang berbeda dengan “Che” Guevara, Fidel Castro, kaum Sandinista, dan sejumlah gerilyawan sayap kiri yang jadi pendahulunya di Amerika Latin di tahun 60-an dan 70-an. Sukses mereka, kata Marcos, akan merupakan sebuah fiasco bagi Zapatista. Zaman telah berubah. Kemenangan gerakan dan gerilya sayap kiri seperti di Kuba ternyata akhirnya menunjukkan kegagalan atau bahkan kekalahan yang “tersembunyi di balik topeng keberhasilan”. Sebab bagi Marcos, yang tak terpecahkan di sana adalah peran civil society di tengah sengketa antara “dua hegemoni”. Yang pertama kekuasaan yang menindas, yang mengatur segala hal atas nama masyarakat. Yang kedua kekuasaan yang melawan si penindas dan kemudian ketika menang juga mengatur segala hal atas nama masyarakat.
Masyarakat sendiri tak punya peran dan bagi mereka hidup tak juga berubah. Dalam banyak segi, Zapatista memang “Kiri” dalam arti yang baru. Bagi kaum “Kiri” dalam tradisi Marxis-Leninis, ide-ide Marcos yang tak tertarik untuk mengambil alih kekuasaan-dan akan selalu memilih posisi sebagai “pengganggu” kekuasaan yang ada-sedikit mirip lamunan kosong. Bagaimana mungkin mengubah kehidupan tanpa memegang kendali perubahan? Dan bagaimana memegang kendali tanpa menunjukkan diri sebagai yang paling siap, paling ulung? Tapi bagi Marcos, ide dasar Zapatista memang berbeda. Gerakan ini hendak membuka ruang bagi pencarian jalan ke arah keadilan, tapi ia tak berkokok bahwa ia membawa suara mayoritas, seperti umumnya kelompok pelopor revolusi. EZLN, kata Marcos dalam wawancara dengan Marquez, “mengenali cakrawala yang nyata dirinya sendiri.” Baginya, “Percaya bahwa kita dapat berbicara atas nama mereka yang di luar jangkauan kita adalah masturbasi politik.”
Dan inilah yang dikatakannya di tahun 1995: “Kami berharap rakyat akan memahami bahwa cita-cita yang menggerakkan kami adil, dan bahwa jalan yang kami pilih juga adil, [tapi ia] bukan satu-satunya jalan. Bukan pula jalan yang terbaik dari semuanya….”
Sebuah filsafat politik yang liberal yang tersembunyi di balik perlawanan terhadap struktur ekonomi neoliberal, yang membuat Zapatista jadi inspirasi kaum progresif di dalam demonstrasi Seattle maupun di Genoa? Mungkin kita tak bisa, dan tak perlu, meletakkan Marcos dalam salah satu kotak yang sudah ada. Zaman dan pengalaman telah mengajarkan kepadanya perlunya ironi –juga ketika orang angkat senjata dengan kehendak akan perubahan besar– dan dengan itu cap apa pun akan tampak berlebihan, menggelikan.
Ia, dengan bedil di tangan dan ikat leher robek-robek yang telah mangkak warna merahnya selama bergerilya, selalu bersama novel Don Quixote di dekatnya. Novel Cervantes ini baginya “buku teori politik yang terbaik”, bersama Hamlet dan Macbeth. Kesusastraan, terutama puisi, terutamaRomancero Gitano-nya Lorca, datang lebih dulu ke ruang hidup pemimpin gerilya ini — datang sebelum Marx dan Engels masuk ke kepalanya. Ia berkata kepada Marquez, bahwa ketika ia masuk ke dalam Marx dan Engels, ia telah sepenuhnya dirusak oleh kesusastraan, “ironinya, dan humornya”.

Ironi, humor: celah-celah yang menyela di tengah kedapnya keyakinan dan angkuhnya agenda yang besar. Di sebuah negeri, di Indonesia, di mana politik berlangsung tanpa keyakinan, tapi juga tanpa ironi, di mana bukan hanya ideologi yang mati, tapi juga ide, di mana agama tak mengubah perilaku politik, tapi sebaliknya, di mana tak seorang pun tersenyum kecil mengenali kekuasaan sebagai sebuah kursi yang norak tapi dikejar-kejar dalam komedi manusia, ya, di Indonesia, di negeri ini, orang seperti Subcomandante Marcos mungkin akan membayang seperti sebuah dongeng yang ganjil dan tak perlu –tapi mungkin karena itu saya ingat kepadanya.

Baca selanjutnya......

Sunday, December 12, 2010

"Hugo Chavez"

Kuba dan Venezuela dengan cara mereka masing-masing, telah berhasil mendorong para pemimpin yang mulanya sekadar kekiri-kirian, kiri-tengah alias Sosialis Demokrat(Sosdem), pada perkembangannya telah mengkristal menjadi suatu gerakan reformasi berbasis populisme yang berhaluan ultra-kiri. Inikah sosialisme berbentuk Ultra-nasionalisme? Atau Ultra-nasionalisme berbasis Sosialisme?

Terserah pada penilaian anda, yang jelas model sosialisme ala Amerika Latin ini layak untuk jadi sorotan kita minggu ini. Sekaligus semoga jadi inspirasi bagi para calon presiden Indonesia yang akan berlaga pada pemilihan presiden 8 Juli mendatang.

Mari kita mulai dengan menyimak perkembangan terkini di Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez Kamis (21/5) lalu mengumumkan rencana pengambil-alihan industri energi asing terbesar dari Amerika Serikat di Venezuela, Williams.

Ini jelas-jelas suatu gebrakan yang cukup revolusioner setelah sebelumnya Chavez berhasil mengambil alih perusahaan raksasa Amerika Serikat Cargil, sebuah perusahaan penggilingan Cargill. Karena perusahaan paman Sam tersebut dianggap telah melanggar kententuan harga beras yang ditetapkan Karacas.

Soal Cargill, nanti akan ada pembahasan tersendiri. Kembali ke kebijakan nasionalisasi terhadap William, industri minyak raksasa Amerika tersebut paling lambat akan dilakukan pada akhir Mei 2009.

Suatu keberhasilan yang cukup fantastis, karena dengan demikian Chavez berhasil menasionalisasi aset 60 perusahaan minyak baik lokal maupun asing.

Gerakan radikal Chavez, di sadari atau tidak, sebenarnya dipicu oleh percobaan kudeta yang dilancarkan Presiden AS George W.Bush pada 2002 lalu. Begitu Chavez berhasil mematahkan skenario kudeta Bush, maka Chavez dengan tak ayal langsung melancarkan serangan balik kepada Amerika. Slogan yang dikumandangkan pun tak tanggung-tanggung: Melawan Imperialisme dan Pemerintahan Imperialisme Amerika di Amerika Latin.

Maka sejak itu, Chavez dan sekutu-sekutunya di Amerika Latin, secara intensif mengkosolidasikan seluruh potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara Amerika Latin terhadap imperialisme Amerika.

Keberhasilan pertama yang cukup spektakuler adalah ketika Chavez dan Presiden Kuba Fidel Castro berhasil mengkonsolidasikan penolakan terhadap kebijakan pasar bebas dalam skema FTTA. Sebagai alternatif, mereka meluncurkan The Bolivarian Alternative for the Americas(Alternatif Rakyat Bolivian untuk Rakyat Amerika).

Dengan demikian, integrasi dan kolaborasi negara-negara Amerika Latin melawan intervensi pasar bebas Amerika pun terbentuklah sudah. Venezuela, Brazil dan Argentina tampil sebagai motor penggerak fron perlawanan anti Amerika ini.

Bukan Initisiatif Pribadi Chavez

Dalam kasus Venezuela, kebijakan nasionalisasi ini pun gagasan atau lontaran spontan Chavez pribadi seperti yang kerap dilakukan oleh elit politik Indonesia. Kebijakan nasionalisasi memang sudah digodok dan ditetapkan oleh Mejelis Nasional sebagai lembaga legislatif Venezuela.

Misalnya saja pada 8 Mei 2009 lalu, Majelis Nasional menerbitkan undang-undang tentang perluasan wewenang negara dalam mengawasi semua kegiatan yang berhubungan dengan industri energi.

Undang-Undang ini memberi hak hukum ekslusif kepada pengadilan lokal dalam menyelesaikan perselisihan antara perusahaan negara dan swastas terkait program nasionalisasi. 

Bahkan lebih dari itu, UU yang dibuat Majelis Nasional tersebut memberikan perlindungan kepada negara dari masalah arbitrasi internasional.

Inilah sebuah produk hukum yang pada perkembanannya menjadi pintu masuk bagi pemerintahan Chavez untuk mewujudkan kebijakan pro rakyat. Karena begitu UU itu diberlakukan, dengan tak ayal Chavez langsung mengumumkan pengambil alihan semua fasilitas yang berhubungan dengan energi oleh perusahaan milik pemerintah Petroleos de Venezuela(PDVSA).

Jadi, pengambil-alihan perusahaan industri energi raksasa Amerika William bukanlah yang kali pertama. Bahkan setelah William, Chavez telah mencanangkan nasionalisasi sejumlah industri pembuat baja bernama Orinico Iron dan industri pembuat keramik bernama Matesi.
Bahkan sebelum UU nasionalisasi ini diberlakukan, pada Maret 2009 Chavez sudah melancarkan ”gimnastik revolusi” dengan memerintahkan pengambil-alihan perusahaan penggilingan Amerika bernama Cargill sebagaimana alasan yang diutarakan di atas.

Bisa dipastikan ini bikin runyam Amerika. Bayangkan saja. Perusahaan yang berkantor di Minnesota itu, memiliki 22 cabang di Venezuela dan mempekerjakan sekitar 2000 karyawan. Cargill memiliki 13 unit operasional, termasuk produksi bahan pangan, pakan ternak, dan biofuel.


Rekam Jejak Chavez
 

Kalau cerita di atas tadi adalah kisah sukses Chavez merebut aset perusahaan asing di Venezuela, Presiden Venezuela yang naik tampuk kekuasaan pada 1998 itu sudah mulai debutnya sejak 2003. Ketika itu, Chavez mulai mengkampanyekan program pro rakyat miskin yakni dengan mengagendakan biaya sekolah dan kesehatan gratis, serta menurunkan harga kebutuhan bahan pokok.

Pada 2005, Chaves mulai melancarkan nasionalisasi tapi bukan terhadap perusahaan asing, melainkan terhadap monopoli perusahaan swasta di dalam negeri. Misalnya dengan menandatangani reformasi peraturan pertanahan guna membatasi pembangunan real estate.

Kemudian pada 2007, tak lama setelah dia terpilih kembali sebagai presiden untuk kali ketiga, menandatangani nasionalisasi perusahaan listrik dan telekomunikasi. Berarti, listrik dan telekomunikasi diharamkan untuk dimiliki swasta, apalagi dengan saham mayoritas.

Masih pada 2007, pemerintahan Chavez sudah berani bertindak terhadap perusahaan asing, padahal belum dipayungi oleh UU Mei 2009. Misalnya dengan keberhasilan mengakuisisi saham mayoritas 4 proyek minyak yang beroperasi di Sungai Orinoco senilai US$ 30 miliar atau sekitar Rp 364,4 triliun. Bukan main. 

Adapuh 4 proyek asing tersebut adalah US companies Exxon, Conoco Philips, France’s Total dan Norway’s StatoilHydro, France’s Total. France’s Total dan Norway’s StatoilHydro menerima kompensasi US$ 1 miliar atau sekitar Rp 12,1 triliun.

Minyak Bagi Venezuela dan Amerika Latin

Minyak, bagi Venezuela, memang menjadi sumber dana penting bagi kemajuan Amerika Latin saat ini. Saat ini, Petro Caribe dibangun untuk penyediaan minyak murah bagi rakyat di wilayah Karibia. Bahkan sudah direncanakan membangun Petro America yang akan menyatukan perussahaan-perusahaan energi milik negara di seluruh Amerika Latin.Termasuk pembayaran hutang Argentina kepada IMF sebesar $ 2,4 miliar.

Bahkan yang lebih gila lagi, Chavez siap untuk menandingi IMF dengan sebuah lembaga keuangan alternatif dengan menggagas terbentuknya Bank of the South (Bank Selatan).

Sebelumnya Chavez memang sudah membuat beberapa langkah strategis sebagai prakondisi. Misalnya dengan Kuba, sempat mempelopori bentuk kolaborasi yang bermanfaat bagi rakyat seperti: perturakaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu.

Kemudian, langkah ini semakin diperluas lagi dengan pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak. Ini jelas-jelas melawan skema privatisasi sektor minyak kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch, Shell atau Chevron Texaco.

Juga, telah dirintis pembangunan pipa-pipa minyuak dan penjualan minyak murah dengan melibatkan Ecuador, Argentina, Brazil, Kolombia dan Paraguay.

Merubah Orientasi dan Haluan Mercosur

Boleh jadi inilah kunci keberhasilan dan sumbangan besar Chavez dalam memprovokasi menguatnya Neo-Sosialisme di Amerika Latin. Ketika Chavez berhasil masuk dan merubah orientasi Mercosur dari sekadar sebagai blok perdagangan minyak yang mengejar keuntungan menjadi fron perlawanan rakyat Amerika Latin terhadap Imperialisme Amerika.

Mercosur terdiri dari Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay. Chavez berhasil memprovokasi negara-negara yang tergabung dalam Mercosur tersebut untuk memperioritaskan kepentingan rakyat daripada sekadar cari untung bisnis semata. “Kita membutuhkan Mercosur yang setiap hari bergerak semakin menjauh dari model integrasi para konglomerat elitis yang kuno dan hanya mengejar keuntungan bisnis semata. Dan melupakan kaum buruh, anak-anak dan martabat hidup manusia,” begitu kata Chavez.

Begitulah. Gagasan Chavez tersebut ternyata gayung bersambut, dan didukung penuh oleh negara-negara tetangganya di Amerika Latin seperti Bolivia, Kuba, Brazil, Peru dan sebagainya.

Baca selanjutnya......