Friday, June 8, 2012

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menanti angin segar kebijakan OJK

Kehancuran Lehmann Brothers menjadi puncak krisis kredit perumahan murah atau subprime mortgage di AS, yang merembet ke krisis keuangan global sampai sekarang. Para pemimpin G20 tak ingin kejadian tersebut terulang kembali. Berkaca dari perekonomian global, Bank Indonesia dan pemerintah dalam hal ini melakukan perbaikan dalam pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank. Pengawasan dan pengaturan oleh Bank Indonesia bagi pelaku industry BPR hingga desember 2011 mengalami pertumbuhan sangat baik. Maka sudah tentunya dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan lembaga indevenden ini diharapkan masa depan industry BPR akan semakin membaik.
Berdasarkan data PERBARINDO, Pertumbuhan industri BPR selama tiga tahun terakhir cukup menggembirakan, terutama juga ditinjau dari sisi total asset, dimana jumlah BPR dengan asset “kecil” semakin menurun. Pada tahun 2009, BPR dengan total asset diatas Rp 10 miliar hanya 779 unit, namun pada tahun 2011 naik menjadi 1.002 unit. Sedangkan BPR dengan total asset antara Rp 5 – 10 miliar, pada tahun 2009 berjumalh 479 unit, turun menjadi 387 unit di tahun 2011. BPR dengan total asset Rp 1- 5 miliar di tahun 2009 berjumalh 429 unit, turun menjadi 264 unit pada tahun 2011. Sedangkan BPR dengan total asset dibawah Rp 1 miliar jumlahnya terus mengalami penurunan yaitu dari 46 unit di tahun 2009 menjadi 16 unit ditahun 2011.
Bila dilihat dari jumlah dana dari pihak ketiga (DPK), pertumbuhan selama 2 tahun terakhir juga mengalami tren yang sangat pisitif. Dana yang tersimpan dalam produk tabungan pada tahun 2010 sebesar Rp 9.856 miliar dengan 7.804 rekening, pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 12.035 miliar dengan 8.551.718 rekening atau masing-masing tumbuh 19.16% dan 22.10%. sementara itu, dana yang dihimpun dalam bentuk deposito pada tahun 2010 sebesar Rp 21.455 miliar dengan 413.082 rekening, pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 26.174 miliar dengan 424.840 rekening atau masing-masing tumbuh 24.10% dan 22.05%. Begitu pula dengan pertumbuhan kredit BPR, pada tahun 2010 jumlah kredit yang tersalurkan mencapai Rp 33.844 miliar, mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2011 mencapai Rp 41.100 miliar atau tumbuh sebesar 21.44%.
Joko Suyanto ketua umum perbarindo pada seminar perbarindo dihotel panin sula jakarta mengatakan, sangat menyandarkan harapan kepada pemerintah dan Bank Indonesia untuk secara progresif mengeluarkan regulasi yang lebih mendukung industri BPR agar dapat tumbuh secara berkesinambungan dan mampu bersaing dengan sehat.
Menurut Arif Budiarto Dirut PD.BPR Bank Daerah Kota Pati, kondisi dilapangan sekarang bukan semakin mudah untuk industry tetapi justru semakin berat, karena posisi BPR ini sekarang semakin terjepit. Disektor mikro dan kecil yang sebenarnya secara riil dilapangan tidak banyak berubah tetapi yang melayani justru semakin banyak baik dari lembaga keuangan bank maupun non bank. Sekarang ini lembaga keuangan non bank sudah beroperasi layaknya bank dan sudah semakin berkembang karena mereka sering mendapat bantuan dari pemerintah maupun perbankan. Mereka diuntungkan dengan tidak adanya regulasi dan pengawasan yang sangat ketat dari Bank Indonesia karena mereka bernaung dengan UU yang lain, bukan UU perbankan, sehingga kadang dapat berinisiatif sesuai dengan kemauan mereka tanpa ada yang mengatur.
Memang hampir semua lembaga keuangan memberikan perhatian khusus pada kredit mikro dengan argument bahwa resiko kredit mikro lebih kecil. Saat ini yang aktif memberikan kredit mikro selain lembaga keuangan, BUMN juga ambil bagian lewat program CSR (corporate social responsibility). Jadi dapat dibayangkan betapa ketatnya persaingan yang dialami BPR yang focus utamanya adalah kredit mikro. Namun pelaku BPR boleh berbangga hati, ditengah gempuran yang demikian hebat dari lembaga penyalur kredit mikro resmi dan tidak resmi, BPR masih dapat bertumbuh kembang dengan baik, ujarnya.
Sementara itu, Head Marketing PT. BPR Artharindo Asep Purqon mengatakan, walaupun pemerintah menurunkan suku bunganya lebih rendah dari BPR, Artharindo tetap menyalurkan perkreditan. Menurut dia, nasabah PT.BPR Artharindo sangat dimanjakan dengan pelayanan yang cepat ketimbang bank umum “kalo bank umum bisa satu bulan, nah,kalau di BPR Artharindo bisa satu minggu”. Kemudian bunga paling kecil dari BPR-BPR lain sejabodetabek yaitu sebesar 13-16 rate per tahun, ungkap Asep.
Industri BPR yang terus mengalami pertumbuhan dengan menunjukan bahwa jangkauan pelayanan BPR semakin luas dan keberadaan BPR semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Memang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industry BPR telah dan akan terus mengalami perubahan yang sangat cepat, pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan mikro baru, perubahan tingkat pendapatan masyarakat, sehingga BPR dihadapkan dengan persaingan yang lebih kompetitif khususnya dalam melayani UMKM. Tentunya prestasi tersebut perlu dipertahankan bahkan terus ditingkatkan oleh para pelaku industry BPR. Apalagi dengan kondisi persaingan yang semakin kompetitif dengan masuknya bank asing dan bank umum ke segmen ritel yang selama ini menjadi market share terbesar bagi BPR. (AR)

No comments: